Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah alat pertahanan dan keamanan wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang terbagi atas beberapa kesatuan (bregada/brigade). Mereka merupakan tentara yang dahulunya dipakai sebagai angkatan perang, namun kini difungsikan sebagai bagian dari upacara adat Grebeg.
Kesatuan-kesatuan prajurit itu dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad abad 17. Tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, pada masa Pemerintahan Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat.Setiap bregada dipimpin oleh seorang perwira berpangkat Kapten, didampingi oleh seorang perwira berpangkat Panji, yang bertugas untuk mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji. Sementara regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara berpangkat Sersan. Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh seorang Pandega. Pucuk pimpinan tertinggi keseluruhan bregada prajurit Keraton adalah seorang Manggalayudha.
Keberadaan Bregada-bregada prajurit Keraton saat ini berada di bawah Pengageng Tepas Kaprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hanya saja Bregada-bregada prajurit Keraton ini hanya tampil dalam acara tertentu, dengan urutan dan formasi tertentu sesuai peran dan fungsi masing-masing, sebagaimana yang ditampilkan dalam setiap defile pada upacara Garebeg setiap tahunnya. dibawah ini prajurit2 Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Diantaranya sebagai berikut:
1. PRAJURIT WIRABRAJA/BREGADA WIRABRAJA
Prajurit Wirabraja |
Nama Wirabraja berasal dari kata wira berarti 'berani' dan braja berarti 'tajam', kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta. Secara filosofis Wirabraja bermakna suatu prajurit yang sangat berani dalam melawan musuh dan tajam serta peka panca inderanya. Dalam setiap keadaan ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia akan pantang menyerah, pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan. Dengan nama kuno dari bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandungan maknanya mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota pasukan ini.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan centhung berwarna merah seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya adalah segi empat berwarna merah dengan pada bagian tengahnya adalah segi delapan berwarna putih.
Gula-klapa berasal dari kata 'gula' dan 'kelapa'. Yang dimaksud di sini adalah gula Jawa yang terbuat dari nira pohon kelapa yang berwarna merah; sedangkan 'kelapa' berwarna putih. Secara filosofis bermakna pasukan yang berani membela kesucian/kebenaran.
2. PRAJURIT DHAENG/BREGADA DHAENG
Prajurit Dhaeng |
Nama Dhaeng berasal dari bahasa Makasar sebagai sebutan gelar bangsawan di Makasar. Secara
filosofis Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah berani seperti prajurit Makasar pada waktu dahulu dalam melawan Belanda.
Menurut sejarah, prajurit Dhaeng adalah prajurit yang didatangkan oleh Belanda guna memperkuat bala tentara R.M. Said. R.M. Said kemudian berselisih dengan P. Mangkubumi. Padahal kedua tokoh ini semula bersekutu melawan Belanda. Puncak atas perselisihan itu adalah perceraian R.M. Said dengan istrinya. Istri R.M. Said adalah putri Hamengku Buwono I. Pada waktu memulangkan istrinya, R.M. Said (P. Mangkunegara) khawatir jika nanti Hamengku Buwono I marah. Guna menjaga hal yang tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, Kanjeng Ratu Bendara diminta agar diiringkan oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit Dhaeng. Setelah sampai di Kraton Yogyakarta, justru disambut dengan baik. Prajurit Dhaeng diterima dengan tangan terbuka, disambut dengan baik. Atas keramahtamahan itu prajurit Dhaeng kemudian tidak mau pulang ke Surakarta. Mereka kemudian mengabdi dengan setia kepada Hamengku Buwono I. Laskar Dhaeng kemudian oleh Hamengku Buwono I diganti menjadi Bregada Dhaeng.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Dhaeng adalah Bahningsari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya adalah bintang segi delapan berwarna merah. Bahningsari berasal dari kata bahasa Sansekerta bahning berarti 'api' dan sari berarti 'indah / inti'. Secara filosofis bermakna pasukan yang keberaniannya tidak pernah menyerah seperti semangat inti api yang tidak pernah kunjung padam.
Prajurit Patang Puluh |
Mengenai asal usul nama Patangpuluh sampai sekarang belum ada rujukan yang dapat menjelaskan secara memuaskan. Nama Patangpuluh tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Patangpuluh adalah Cakragora, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah bintang segi enam berwarna merah. Cakragora berasal dari kata bahasa Sansekerta "cakra" 'senjata berbentuk roda bergerigi' dan "gora", juga dari bahasa Sansekerta berarti 'dahsyat, menakutkan'. Secara filosofis bermakna pasukan yang mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apa pun akan bisa terkalahkan,
Prajurit Jagakarya |
Prajurit Jagakarya berasal kata jaga dan karya. Kata 'jaga' berasal bahasa Sansekerta berarti 'menjaga', sedangkan 'karya' dari bahasa Kawi berarti 'tugas, pekerjaan'. Secara filosofis Jagakarya bermakna 'pasukan yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan'.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Jagakarya adalah Papasan, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hijau. Papasan berasal dari kata nama tumbuhan atau burung papasan. Pendapat lain Papasan berasal dari kata dasar 'papas' menjadi 'amapas" yang berarti 'menghancurkan' (Wojowasito, 1977:190). Secara filosofis papasan bermakna pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan semangat yang teguh.
Prajurit Prawirotomo |
Nama Prawiratama berasal kata prawira dan tama. Kata 'prawira' berasal dari bahasa Kawi berarti
'berani, perwira', 'prajurit', sedangkan "tama" atau "utama" bahasa Sansekerta yang berarti 'utama, lebih'; dalam bahasa Kawi berarti 'ahli, pandai'. Secara filosofis Prawiratama bermakna pasukan yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana perang.
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Prawiratama adalah Geniroga, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Geniroga berasal dari kata 'gent berarti 'api', dan kata Sansekerta 'roga' berarti 'sakit'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan mudah.
6. PRAJURIT NYUTRA/BREGADA NYUTRA
Nama Nyutra berasal kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti 1) 'unggul', 2) lulungidan (ketajaman), 3) 'pipingitan/'sinengker’ (Winter, K.F., 1928, 233,266); sedang dalam bahasa Jawa Baru berarti 'bahan kain yang halus'; sedangkan awalan N- berarti 'tindakan aktif sehubungan dengan sutra'. Prajurit Nyutra merupakan prajurit pengawal pribadi Sri Sultan. Prajurit ini merupakan kesayangan raja, selalu dekat dengan raja. Secara filosofis Nyutra bermakna pasukan yang halus seperti halusnya sutera yang menjaga mendampingi keamanan raja, tetapi mempunyai ketajaman rasa dan ketrampilan yang unggul. Itulah sebabnya prajurit Nyutra ini mempunyai persenjataan yang lengkap (tombak, towok dan tameng, senapan serta panah/jemparing). Sebelum masa Hamengku Buwono IX, anggota Prajurit Nyutra diwajibkan harus bisa menari.
Prajurit Nyutra |
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Nyutra adalah Podhang ngingsep sari dan Padma-sri-kresna. Podhang ngingsep sari untuk Prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna merah. Padma-sri-kresna untuk Prajurit Nyutra Hitam berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna hitam.
Podhang ngingsep sari berasal dari kata podhang berarti 'kepodang (jenis burung dengan bulu warna kuning indah keemasan)', ngingsep = 'mengisap', dan sari = 'inti, sari'. Secara filosofis Nyutra Merah bermakna pasukan yang selalu memegang teguh pada keluhuran. Padma-sri-kresna berasal dari tiga kata bahasa Sansekerta, yaitu: "padma" berarti 'bunga teratai', "sri" berarti 'cahaya, indah', dan "kresna" yang berarti 'hitam'. Secara filosofis Nyutra Hitam bermakna pasukan yang selalu membasmi kejahatan, seperti Sri Kresna sebagai titisan Dewa Wisnu.
Prajurit Ketanggung |
Nama Ketanggung berasal kata dasar "tanggung" mendapatkan awalan ke-. Kata "tanggung" berarti 'beban, berat1. Sedangkan ke- di sini sebagai penyangatan 'sangat'. Secara filosofis
Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Puliyer (Wirawicitra / Wirawredhatama / Operwachmester).
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Ketanggung adalah Cakra-swandana, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah gambar bintang bersegi enam dengan warna putih. Cakra-swandana berasal dari bahasa Sansekerta "cakra" (senjata berbentuk roda bergerigi) dan kata Kawi "swandana" yang berarti 'kendaraan/kereta'. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan yang membawa senjata cakra yang dahsyat yang akan membuat porak poranda musuh.
Prajurit Mantrijero |
Nama Mantrijero berasal kata "mantri" dan "jero". Kata "mantri" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'juru bicara, menteri, jabatan di atas bupati dan memiliki wewenang dalam salah satu struktur pemerintahan'. Sedangkan “jero" berarti 'dalam'. Secara harfiah kata Mantrijero berarti 'juru bicara atau menteri di dalam' Secara filosofis Mantrijero bermakna pasukan yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian dalam memutuskan segala sesuatu hal dalam lingkungan Kraton (pemutus perkara).
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Mantrijero adalah Purnamasidhi, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna putih. Purnamasidhi berasal dari kata Sansekerta, yaitu "purnama" berarti 'bulan penuh' dan kata "siddhi" yang berarti 'sempurna'. Secara filosofis Purnamasidhi bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.
Nama Bugis berasal kata bahasa Bugis. Prajurit Bugis sebelum masa Hamengku Buwono IX bertugas di Kepatihan sebagai pengawal Pepatih Dalem. Semenjak zaman Hamengku Buwono IX ditarik menjadi satu dengan prajurit kraton, dan dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan. Secara filosofis Prajurit Bugis bermakna pasukan yang kuat, seperti sejarah awal mula yang berasal dari Bugis, Sulawesi.
Prajurit Bugis |
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning emas. Wulan-dadari berasal dari kata "wulan" berarti 'bulan' dan "dadari" berarti 'mekar, muncul timbul'. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan penerangan dalam kegelapan, ibarat berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap yang menggantikan fungsi matahari.
Prajurit Surakarsa |
Nama Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata "sura" berasal dan bahasa Sansekerta berarti 'berani', sedangkan "karsa" berarti 'kehendak'. Dahulu Prajurit Surakarsa bertugas sebagai pengawal Pangeran Adipati Anom / 'Putra Mahkota'; bukan bagian dari kesatuan prajurit kraton. Secara filosofis Surakarsa bermakna pasukan yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan putra mahkota. Sejak masa Hamengku Buwono IX, pasukan ini dijadikan satu dengan prajurit kraton dan dalam upacara Garebeg mendapat tugas mengawal Gunungan pada bagian belakang (Yudodiprojo, 1995).
Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning. Pareanom berasal dari kata "pare" (tanaman merambat berwarna hijau yang buahnya jika masih muda berwarna hijau kekuning-kuningan), dan kata "anom" berarti 'muda'. Secara filosofis Pareanom bermakna pasukan yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.
Makna warna dalam panji2 Prajurit/Bregada
Warna dapat dipahami dalam tiga tingkatan. Pertama, adalah warna secara murni yaitu penggunaan warna untuk warna itu sendiri; kedua, adalah warna secara harmonis yang mengungkap kenyataan optis; ketiga, adalah warna secara heraldis atau simbolis. Pada Prajurit Kraton Yogyakarta, warna akan dipahami secara simbolis. Sebagai simbol, warna dapat ditemukan antara lain pada pakaian dan bendera (klebet/dwaja). Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna dasar, seperti putih, merah, kuning, hitam dan biru, serta hijau.
Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu di dunia dibagi empat yang disebar di keempat penjuru angin dan satu di tengah sebagai pusat. Warna juga dibagi empat atau lima. Warna hitam terletak di utara, sementara merah berada di selatan. Warna putih diletakkan di timur, dan barat memiliki warna kuning. Di tengah, sebagai pusat, adalah perpaduan dari berbagai warna tersebut. Masing-masing warna tersebut berasosiasi dengan berbagai hal, seperti sifat, dewa, bunga, serta benda-benda.
Berikut adalah makna beberapa warna yang terdapat pada prajurit Kraton Yogyakarta :
Warna hitam, wulung dan biru
Warna hitam digunakan pada baju dan celana Manggala, baju dan celana Pandhega, baju prajurit Prawiratama, baju sebagian prajurit Nyutra, topi mancungan dari Prajurit Dhaeng. Pada bendera prajurit Patangpuluh, warna ini menjadi dasar dari bendera Cakragora. Warna ini juga terlihat pada sebutan bendera Nyutra, yaitu Padma-sri-kresna. Kresna bukan saja nama tokoh pahlawan dalam pewayangan Mahabharata, melainkan juga warna hitam, seperti warna badan Sri Kresna. Warna hitam adalah warna tanah, berkaitan dengan sifat aluamah Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.
Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan misalnya untuk blangkon prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih. Warna wulung dekat dengan warna hitam, sehingga bermakna sama.
Warna biru, digunakan secara terbatas misalnya pada lonthong prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra dan prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Makna dari penggunaan warna ini barangkali dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.
Warna hitam dalam pembagian secara simbolik di Jawa (mancapat) berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandhang (semacam bangau hitam), lautan nila (berwarna indigo atau biru), hari pasaran Wage, serta dewa Wisnu (Soehardi, 1996; 309).
Warna merah dan jingga
Merah digunakan pada beberapa pasukan. Pasukan yang menggunakan warna merah paling dominan adalah Prajurit Wirabraja, yang menggunakan warna ini pada topi centhung, baju sikepan, celana, hingga srempang, endhong (yang sekarang). Pasukan lain yang cukup dominan menggunakan warna merah adalah Dhaeng. Warna merah diterapkan pada hiasan di depan dada, ujung lengan baju, serta plisir pada samping celana. Prajurit Nyutra menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana. Prajurit Ketanggung menggunakan kain merah sebagai pelapis baju. Prajurit Patangpuluh menggunakan warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit.
Untuk bendera, merah digunakan sebagai motif hias pada bendera Gula-klapa, yang merupakan bendera Kraton Yogyakarta meskipun sekarang dibawa oleh bregada Wirabraja. Merah sering dikonotasikan dengan keberanian (Brontodiningrat 1978: 15). Dalam hal ini, sesuai misalnya dengan sebutan Wirabraja untuk prajurit yang dikenal sebagai pemberani. Dalam kamus dinyatakan bahwa "wira" berarti 'kendel' (Poerwadarminta 1939: 664) atau 'berani' dan "braja" berarti 'gegaman' atau senjata.
Warna merah penting bagi kebudayaan-kebudayaan di Nusantara sejak lama. Lukisan dinding gua, juga penguburan pada masa Prasejarah menggunakan warna ini dari serbuk batuan hematit. Warna ini juga menemukan makna filosofisnya pada masa Hindu hingga dimodifikasi pada masa Islam yang diwujudkan antara lain dalam warna merah dari bendera Gula-klapa.
Warna jingga atau oranye digunakan untuk baju dalam prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan sering dimasukkan ke dalam warna merah. Oleh karena itu, warna ini memiliki makna pemberani, mirip dengan warna merah. Dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), warna merah berasosiasi antara lain dengan api, selatan, logam swasa -yaitu campuran antara emas dan tembaga-, burung wulong, lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma (Soehardi, 1996; 309).
Warna putih
Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak. Pasukan yang menggunakan warna putih secara dominan adalah prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain menggunakan warna putih untuk celana panjang, yaitu prajurit Ketanggung dan Patangpuluh.
Warna putih juga digunakan sebagai warna dasar bendera Gula-klapa yang dibawa pasukan Wirabraja dan bendera Bahningsari dari Pasukan Dhaeng. Dua pasukan ini berada pada urutan depan dari barisan seluruh pasukan kraton jika sedang melakukan defile. Di urutan bagian belakang, prajurit Mantrijero menggunakan warna putih sebagai bentuk bulatan di tengah hitam yang merupakan warna dasar bendera. Bendera ini disebut dengan Purnamasidhi, yaitu bulan purnama. Di Kraton Yogyakarta, warna putih juga digunakan pada plak payung ampeyan KGPH atau Patih yang menyandang nama Pangeran (Isnurwindryaswari 2004:106).
Warna putih berdekatan makna dengan kebersihan atau kesucian. Hubungan antara putih dengan kesucian sudah berlangsung lama dalam sejarah kebudayaan. Di dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa terdapat abdi dalem yang disebut Pamethakan. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti putih. Pakaian abdi dalem ini berwarna putih. Abdi dalem ini bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Dalam pembagian warna secara simbolik di Jawa (mancapat), warna putih berasosiasi antara lain dengan arah timur, perak, burung kuntul (bangau), air, santan, hari pancawala Legi, serta Dewa Komajaya (Soehardi, 1996; 308).
Warna kuning dan emas
Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit kraton; hanya untuk hiasan, seperti hiasan lengan pada prajurit Nyutra. Warna kuning juga merupakan warna dasar dari bendera kedua regu pasukan Nyutra. Salah satunya adalah bendera Podhang ngingsep sari. Nama podhang berkaitan dengan warna bulu burung ini yang kuning.
Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan ketenteraman (Brontodiningrat, 1978; 15). Dalam upacara selamatan pada masyarakat Jawa, juga sering dihadirkan nasi kuning sebagai bagian dari sesaji. Hal ini merupakan simbol pengharapan akan keselamatan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Di Kraton Yogyakarta, warna kuning antara lain hadir pada warna plak payung yang digunakan oleh pangeran sentana, juga payung yang digunakan untuk menaungi makanan dan minuman yang dihidangkan untuk Sultan (Isnurwindryaswari, 2004; 110).
Dekat dengan warna kuning adalah warna emas. Warna kuning emas digunakan misalnya oleh prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji, plisir pada baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan antara Lurah dan prajurit Jajar, sebagaimana terlihat pada pasukan Patangpuluh, prajurit Jagakarya. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan (Herusatoto, 1985; 95).
Warna emas (prada) mengandung makna kemuliaan dan kemakmuran yang dapat meningkatkan kewibawaan raja (Herusatoto, 1985; 95). Sebagai logam mulia, emas merupakan logam yang stabil, tidak mudah bereaksi terhadap unsur-unsur lain. Logam ini juga merupakan logam yang indah, mudah dibentuk, serta langka. Oleh karena itu, emas termasuk logam berharga.
Di Kraton, emas atau prada digunakan untuk mewarnai beberapa bagian bangunan, seperti umpak, tiang, dan sebagainya, untuk tempat-tempat yang disinggahi oleh Sultan. Selain itu, warna emas juga terdapat pada payung kebesaran Sultan, Kanjeng Kyai Tunggul Naga (Isnurwindryaswari, 2004; 110). Banyaknya warna prada pada lambang-lambang kerajaan disebabkan karena warna ini menimbulkan kultus kemegahan (Moertono, 1985; 73).
Warna kuning dalam pembagian simbolik di Jawa (mancapat), antara lain berasosiasi dengan udara, arah barat, emas, burung podhang, lautan madu, hari Pon, serta Dewa Bayu (Soehardi, 1996; 309).
Warna hijau
Warna hijau, digunakan antara lain pada sayak Lurah prajurit Patangpuluh. Pada bendera, muncul pada warna bendera Pareanom, serta bendera Papasan. Warna kedua bendera ini meniru warna buah-buahan. Warna ini adalah simbol pengharapan (Brontodiningrat, 1978; 15).
Baris berbaris Prajurit Kraton
Meskipun untuk waktu yang lama prajurit kraton tidak terlibat peperangan, akan tetapi pada masa lalu prajurit ini cukup tangguh menghadapi musuh. Dalam tradisi Jawa terdapat gelar-gelar perang, yaitu formasi perang prajurit di medan pertempuran. Gelar-gelar tersebut memiliki nama tertentu seperti Supit Urang, Garudha Nglayang, Dhirada Meta, atau Glathik Neba. Gelar ini tidak hanya digunakan sesuai dengan kondisi medan dan musuh, akan tetapi juga sesuai dengan sifat dari senapati perang dalam pertempuran itu.
Dengan bergesemya peran dan fungsi Prajurit Kraton Yogyakarta dari prajurit pertahanan keamanan ke prajurit seremonial akan mempengaruhi perubahan tugas dan kewajiban Prajurit Kraton sendiri yang lebih dititikberatkan pada peran pendukung seremonial kraton, seperti upacara Jumenengan Sultan, Upacara pada saat ada yang meninggal dunia (sedan), upacara Garebeg dan tugas seremonial lain di luar Kraton. Dalam 1 (satu) tahun, Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara Garebeg tiga kali, yakni Garebeg Syawal pada tanggal 1 bulan Syawal bersamaan dengan I’edul Fitri, Garebeg Besar pada bulan Dulhijah atau bulan Besar bersamaan dengan I’edul Adha, dan Garebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabi’ulawal (Mulud). Garebeg Mulud sendiri ada yang paling istimewa apabila Upacara Garebeg tersebut jatuh dalam tahun Dal, maka penyelenggaraan upacara dan peran prajurit kraton menjadi istimewa pula. Karena menurut perhitungan Kalender Jawa (Kalender Sultan Agung) lahirnya Nabi Muhammad S.A.VV bersamaan dengan tanggal 12 Mulud tahun Dal. Di samping ada tambahan Gunungan Grama (gunungan dengan kukus api) dan ada upacara “nJejak banon” (menendang dinding hingga jebol) oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, masih ada perlengkapan upacara yang khusus hanya dikeluarkan dalam upacara Garebeg tahun Dal yang melibatkan peran prajurit kraton secara khusus pula.
Prajurit Kraton yang bertugas khusus untuk membawa pusaka-pusaka kraton pada upacara Garebeg Tahun Dal adalah pertama Prajurit Mantrijero, membawa Bendhe Kangjeng Kyai Tundhung Mungsuh dengan petugas Prajurit berpangkat Jeksa. Bendhe Kangjeng Kyai Sima dibawa oleh Prajurit berpangkat Sersan Mayor. Bendhe Kangjeng Kyai Udan Arum dibawa oleh Prajurit berpangkat Puliyer dan Dwaja (Klebet) Kangjeng Kyai Puja dengan Standar Kangjeng Kyai Cakra dengan petugas Dwajadara Prajurit Mantrijero. Kedua, prajurit Ketanggung membawa tombak Kangjeng Kyai Slamet dengan nyamping Kangjeng Kyai Tunggul Wulung oleh Prajurit berpangkat Puliyer. Wedhung Kangjeng Kyai Pengarab-arab di dalam gendhaga dibawa oleh Prajurit berpangkat Operwahmester (Opperwachtmeester). Dwaja (Klebet) Kangjeng Kyai Puji dengan Standar Kangjeng Kyai Nenggala dibawa oleh Dwajadara Prajurit Ketanggung. Ketiga Prajurit Wirabraja membawa Dwaja (Klebet) Kangjeng Kyai Pareanom dipasang pada Standar Kangjeng Kyai Santri. Petugasnya Dwajadara Prajurit Wirabraja yang berpangkat tua.
Urutan Berjalan dalam Defile
Gunungan |
Urutan berjalan para prajurit ketia mengikuti upacara adat di Kraton telah ditentukan. Dalam upacara Garebeg misalnya, sebagian prajurit mendahului gunungan, sebagian prajurit berada di belakang gunungan, sebagian lagi berdiri berjajar di Alun-alun, dengan urutan tertentu, menyambut gunungan dengan tembakan salvo (drel). Dalam defile, semakin tinggi kedudukannya, semakin ke belakang. Paling depan adalah Wirabraja, paling belakang adalah Mantrijero. Ini mirip dengan yang terjadi dalam peperangan. Prajurit yang pangkat rendah dimajukan terlebih dahulu (wawancara TM, 15 Mei 2008). Pada masing-masing pasukan, urutan prajurit juga telah ditentukan, tergantung pada cara berjalan yang digunakan.
Susunan formasi kesatuan prajurit dalam lampah rikat/mars terdiri dari Ungel-ungelan – terompet berada di depan (jika ada) diikuti dengan Panji Parentah, Standar, Senjata ngajeng, Panji II, Senjata wingking, Sersan waos I, Waos dan yang paling belakang adalah Sersan waos II. Sedang formasi dalam lampah macak diawali dengan terompet (jika ada dalam kesatuan) kemudian diikuti Panji Parentah, Standar, Senjata ngajeng, Ungel-ungelan, Panji II, Senjata wingking, Sersan waos I, Waos, dan yang paling belakang adalah Sersan waos II.
Cara berjalan dalam defile
Terdapat beberapa tipe cara berjalan yang umum dilakukan oleh para prajurit. Keistimewaan yang ada adalah pada prajurit Nyutra. Mereka harus berjalan dengan menari.
Cara Memberi Hormat
Penghormatan yang dilakukan oleh para prajurit kraton berbeda dari prajurit TNI atau tentara yang lain. Penghormatan ini dilakukan dengan setengah menari. Terdapat tiga macam penghormatan yang dilakukan oleh prajurit, yaitu penghormatan besar, penghormatan kecil, serta penghormatan sambil berjalan.
Penghormatan besar
Untuk tombak dilakukan dari posisi pandi hastra (tombak dibawa menghormat ke posisi kinantang tunjung hastra. Untuk senapan dilakukan dari posisi cangklong tinggar (senapan dtcangklong di pundak) ke posisi hormat tinggar.
Penghormatan kecil
Untuk tombak dilakukan dari posisi tunjung hastra (tombak dipegang) ke tombak diangkat di depan badan. Untuk senapan dilakukan dari posisi seleh tinggar (senapan dipegang) ke hormat tinggar (senapan diangkat di depan badan).
- Penghormatan Kecil (Senapan)
- Penghormatan Besar (Senapan)
- Penghormatan Kecil (Tombak)
- Penghormatan Besar (Tombak)
Penghormatan juga dilakukan sambil berjalan, dengan menoleh ke arah yang dihormati. Penghormatan dengan bendera dilakukan dengan merebahkan bendera. Jika yang dihormati adalah Sultan -misalnya ketika prajurit berjalan di Sitihinggil dan Sultan sinewaka di sana-, maka bendera direbahkan menyentuh tanah hingga terseret berjalan.
Penghormatan kepada Sultan ketika pasukan melewati Bangsal Kencana
Aba-aba penghormatan diberikan secara berurutan. Dimulai dari aba-aba perintah penghormatan dari Panji Parentah, kepada Dwajadara, Sersan Pengamping, barisan senjata 1 dan Sersan Senjata. Diikuti aba-aba Panji II, kepada barisan senjata II, Sersan waos I, kepada Jajar waos dan diakhiri aba-aba perintah penghrtmatan Sersan waos II, kepada diri sendiri.
Aba-aba dalam Keprajuritan Kraton Yogyakarta
Baris-berbaris Prajurit |
Dahulu, aba-aba diberikan dalam campuran bahasa Jawa dan Belanda yang telah disesuaikan. Untuk pasukan tertentu yaitu Bugis, digunakan bahasa yang sulit ditelusuri artinya; barangkali adalah bahasa dari Sulawesi yang sudah terdistorsi karena sudah melalui beberapa generasi. Aba-aba itu antara lain adalah “Jarengi mana, malembuk besom. Nancongi besara. Madhinching malembuk besara. Manyak-manyaklaeki besoro. Manyak-manyak kejojoh basoro. Walmana melumpuk besom”.
Akan tetapi, dengan semangat kebangsaan, – menjelang masuknya tentara Jepang ke Hindia Belanda pada 5 Maret 1942 dan khususnya ke Yogyakarta pada 8 Maret 1942 – Kraton Yogyakarta telah menyiapkan dan melatihkan Aba-aba Kaprajuritan Kraton Yogyakarta kepada para prajurit kraton waktu itu.
Setelah rekonstruksi pada tahun 1970-an, aba-aba diberikan dalam bahasa Jawa, menggunakan kata-kata yang sama untuk semua pasukan.
Aba-aba sikep baris"
- “Tata baris” : berkumpul dalam formasi baris (nglempak satata baris)
- “Siyaga yitna” : berdiri lurus (ngadeg jejeg)
- “Ngaso ngenggon” : istirahat di tempat (ngaso wonten papan)
- “Rentes nganan” : lurus kanan (nyipat manengen)
- “Rentes ngering” : lurus kiri (nyipat mangiwa)
- “Jejeg” : kembali lurus (wangsul jejeg)
- “Bubaran” : bubar bersama (bibar sesarengan)
- “Ngaso” : istirahat bersama (ngaso bebarengan)
- “Madhep nganan” : menghadap ke kanan (madhep manengen)
- “Madhep ngering” : menghadap kiri
- “Mlaku bareng” : berjalan bersama-sama
- “Mlaku ngenggon” : berjalan di tempat
- “Mlaku macak maju bareng” : berjalan macak bersama-sama
- “Minger batik nganan” : berputar balik ke kanan (minger balik manengen)
- “Minger balik ngering”: berputar balik ke kiri (minger balik mangiwa)
- “Nekuk ngering” : belok dua kali ke kiri
- “Nekuk nganan” : belok dua kali ke kanan
- “Jangkah lumrah” : berjalan dari macak berganti ke biasa (mlampah biasa saking mlampah macak lajeng mlampah sareng biasa)
- “Maju/mundur 1,2,3 jangkah”: maju/mundur 1,2,3 langkah
- “Mandheg bareng” : berhenti bersama-sama
- “Mandheg urut” : berhenti berurutan
- “Hukur antara” : Mengukur jarak (ngukur antawis)
- “Baris urut kacang” : barisan urut kacang
- “Baris ngloro-ngloro” : Baris jejer dua-dua
- “Noleh nganan” : hormat dengan menoleh ke kanan
- “Noleh ngering” : hormat dengan menoleh ke kiri
- “Hurmat/caos pakurmatan nganan”: hormat dengan menoleh ke kanan
- “Hurmat ngering” : hormat dengan menoleh ke kiri
- “Panji nganan/ngering” : panji ke kanan/ke kiri
- “Panji mlebu barisan” : panji masuk ke barisan
- “Methenteng asta” : tangan kiri di pinggang.
Aba-aba untuk prajurit mulai mlampah macak
- "Mlampah macak maju bareng..”: (suling berbunyi bawa) … (tambur berbunyi hingga pada disambut aba ‘Gya”)
- “Mlampah macak maju bareng..”: (tambur berbunyi ropel) … (suling berbunyi bawa dilanjutkan dengan bendhe besar disertai aba “Gya”)
- “Mlampah macak maju bareng..": (trompet berbunyi)… (tambur berbunyi ropel)… (disambut suling bawa diteruskan bendhe besar disertai aba “Gya”)
Aba-aba Sikep Dedamel
Sikep Sabat/pedhang
- “Tarik pedhang” : pedang dihunus
- “Hurmat pedhang” : hormat dengan pedang
- “Pandi pedang” : pedang dipanggul
- “Nyarung pedhang” : pedang disarungkan
Sikep Senjata
- "Nyangklong tinggar” : senjata dicangklong
- “Hurmat tinggar” : hormat dengan senjata
- “Seleh tinggar" : menurunkan senjata
- “Cangking tinggar” : senjata dibawa
- “Nyipat” : meluruskan
- “Drel” : drel (senjata dibunyikan)
- “Buwang patrum" : peluru dikeluarkan.
Sikep Waos (tombak)
- "Pandi hastra” : tombak dipanggul
- “Kinantang tunjung hastra” : hormat dengan tombak
- “Tunjung hastra”/”goyang tunjung hastra” : tombak diturunkan
- "Maniyung hastra" : tombak dicondongkan
- "Manlawung hastra” : tombak di-lawung
- “Mbuntar hastra” : tombak dibawa [cangking)
- "Nylimpet balik” : melangkah bersilang balik
- “Nylimpet balik tunjung hastra/pandi hastra” : melangkah bersilang balik, dilanjutkan tegak /memanggul tombak
- “Maju ndhadhap” : melangkah ke depan dengan mendhak
- “Mundur ndhadhap" : berjalan mundur dengan mendhak dilanjutkan tegak, tombak dipanggul (pandi)
- “Kumpul hastra” : tombak dikumpulkan
Sikep Towok
- “Junjung towok” : towok diangkat
- “Turun towok” : towok diturunkan
- “Maniyung towok” : towok dicondongkan
- “Kinantang wusti towok” : hormat menggunakan towok
- “Gantang towok” : menurunkan towok dilanjutkan tegak
- "Siyaga kalasongka" : tambur, ketipung, dhodhog dicangklong; bendhe, suling, dan sebagainya dibawa
- “Nembang tengara” : rapel apel
- “Tengara manggala” : penghormatan terhadap Manggala
- “Ngumpul sajuru-juru” : menuju ke bregada/pasukan masing-masing
- “Hampil kalasongka” : membawa alat musik
Aba-aba hormat
- ‘Warasta kalasongka hurmat”: hormat menggunakan dedamel (peralatan) dan bunyi-bunyian. Dwaja termasuk dedamel
- “Kinantang tunjung hastra” : hormat besar menggunakan tombak
- “Hurmat tinggar” : hormat menggunakan senapan
- “Kinantang wusti towok” : hormat dengan towok
- “Hurmat pedang” : hormat dengan pedang
- “Rubuh dwaja” : hormat dengan merebahkan bendera
- “Hurmat” : hormat dengan menoleh ke kin atau kanan saat berjalan
Aba-aba bersama untuk semua jenis peralatan
- “Mbujangso warasta”: tombak dan pedang dipanggul, towok diangkat, senapan dicangklong.
- “Rubuh dwaja” : hormat menggunakan bendera
- “Ngadeg dwaja” : bendera ditegakkan
- “Pundi dwaja” : bendera dipanggul
- “Turun dwaja” : bendera ditegakkan, seperti waos tunjung hastra.
Tugas Prajurit Kraton Yogyakarta
Berikut adalah tugas Prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dari masa ke masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono :
- Secara umum, tugas prajurit Kraton seperti terlihat pada masa Sultan Hamengku Buwono I adalah melakukan pengamanan kraton, pengawalan terhadap Sultan yang sedang berada di luar kraton, pengawalan terhadap pejabat VOC yang sedang berkunjung atau tamu agung lain. Setiap kelompok prajurit memiliki tugas yang berbeda. Bregada Mantrijero bertugas sebagai pengawal Sultan pada saat diselenggarakannya upacara jumenengan di Sitihinggil. Dalam pengamanan kraton, pasukan Bugis bertugas menjaga gerbang Tarunasura dan Jagasura, pasukan Surakarsa menjaga gerbang Nirbaya dan Jagabaya. Tugas yang dilakukan prajurit adalah membuka dan menutup pintu gerbang, juga menaikkan dan menurunkan jembatan gantung.
- Akan tetapi, pada masa Sultan Hamengku Buwono V hingga VIII, prajurit kraton hanya berfungsi seremonial. Mereka bertugas dalam upacara meskipun masih bertugas mengawal serta menjaga benteng.
- Jika terdapat keluarga Sultan yang meninggal, pasukan prajurit merupakan atribut yang diberikan oleh kraton. Seseorang disebutkan “mendapat Bugis dan Surakarsa”, atau GKR Pembajoen (putri sulung Sultan Hamengku Buwono VIII) “mendapat lima bendera” (wawancara NJ 15 Mei 2008).
- Pada masa Sultan Hamengku Buwono X, para prajurit bertugas dalam upacara-upacara yang diadakan oleh kraton. Di samping itu terdapat kegiatan rutin berkaitan dengan keamanan kraton, yaitu caos atau rondha. Prajurit juga memiliki tugas dalam pariwisata. Selain itu, bertugas pada kegiatan-kegiatan temporer seperti jumenengan, sedan (kematian), pengantin, atau menyambut tamu.
- Dalam fungsi seremonial, prajurit hadir dan memiliki peran dalam upacara. Upacara-upacara tersebut adalah Garebeg, jumenengan, serta kematian. Masing-masing pasukan mempunyai peran tersendiri dalam setiap upacara.
- Dalam upacara Garebeg, sebagian pasukan bertugas mengantar gunungan hingga ke halaman masjid, sebagian lainnya -yaitu Wirabraja- jika tahun Dal, berbaris satu-satu (sesiyungan) di luar regol masjid.
Sumber : Wikipedia; yogyakarta.panduanwisata.id
This way my pal Wesley Virgin's biography launches in this SHOCKING and controversial VIDEO.
ReplyDeleteYou see, Wesley was in the military-and soon after leaving-he found hidden, "mind control" secrets that the government and others used to obtain whatever they want.
THESE are the same SECRETS tons of famous people (notably those who "became famous out of nowhere") and elite business people used to become wealthy and famous.
You probably know how you utilize only 10% of your brain.
Really, that's because the majority of your brain's power is UNCONSCIOUS.
Maybe this expression has even taken place INSIDE your own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind 7 years back, while riding a non-registered, trash bucket of a vehicle without a driver's license and with $3.20 in his bank account.
"I'm so fed up with living check to check! When will I get my big break?"
You took part in those types of thoughts, isn't it so?
Your success story is going to be written. All you need is to believe in YOURSELF.
UNLOCK YOUR SECRET BRAINPOWER